PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Salah satu kajian penting dalam Islam adalah persoalan etika
bisnis. Pengertian etika adalah acode or set of principles which people live
(kaedah atau seperangkat prinsip yang mengatur hidup manusia).
Etika adalah bagian dari filsafat yang membahas secara
rasional dan kritis tentang nilai, norma atau moralitas. Dengan demikian, moral
berbeda dengan etika. Norma adalah suatu pranata dan nilai mengenai baik dan
buruk, sedangkan etika adalah refleksi kritis dan penjelasan rasional mengapa
sesuatu itu baik dan buruk. Menipu orang lain adalah buruk. Ini berada pada
tataran moral, sedangkan kajian kritis dan rasional mengapa menipu itu buruk
apa alasan pikirannya, merupakan lapangan etika.
Pada dasarnya etika (nilai-nilai dasar) dalam bisnis
berfungsi untuk menolong pebisnis (dalam hal ini pedagang) untuk memecahkan
problem-problem (moral) dalam praktek bisnis merek.
Di Indonesia, pengabaian etika bisnis sudah banyak terjadi
khususunya oleh para konglomerat. Para pengusaha dan ekonom yang kental
kapitalisnya, mempertanyakan apakah tepat mempersoalkan etika dalam wacana ilmu
ekonomi?. Munculnya penolakan terhadap etika bisnis, dilatari oleh sebuah
paradigma klasik, bahwa ilmu ekonomi harus bebas nilai (value free). Etika bisnis hanyalah mempersempit ruang gerak
keuntungan ekonomis. Padahal, prinsip ekonomi, menurut mereka, adalah mencari
keuntungan yang sebesar-besarnya.
Pada tahun 1990-an Paul Ormerof, seorang ekonom kritis
Inggris menerbitkan bukunya yang amat menghebohkan “The Death of
Economics", Ilmu Ekonomi sudah menemui ajalnya. (Ormerof,1994). Tidak
sedikit pula pakar ekonomi telah menyadari makin tipisnya kesadaran moral dalam
kehidupan ekonomi dan bisnis modern.
Amitas Etzioni menghasilkan karya; The Moral dimension:
Toward a New Economics(1988). Berbagai buku etika bisnis dan dimensi moral
dalam ilmu ekonomi semakin banyak bermunculnan.
Contoh kecil kesadaran itu terlihat pada sikap para pakar
ekonomi kapitalis Barat yang telah merasakan implikasi keburukan strategi
spekulasi yang amat riskan mengusulkan untuk membuat kebijakan dalam memerangi
spekulasi.
Prof. Lerner dalam buku “Economics of Control”, mengemukakan
bahwa “kejahatan spekulasi yang agressif, paling baik bila dicegah dengan
kontra spekulasi. Mereka tampaknya belum berhasil menyelesaikan krisis
tersebut, meskipun mereka menanganinya dengan serius”.
Mungkin karena itulah Prof. Taussiq berusaha memecahkan
masalah ini dengan memperbaiki moral rakyat. Ia dengan lantang berkomentar,
“Obat paling mujarab, bagi kerusakan dunia bisnis adalah norma moral yang baik
untuk semua industri”.
Pandangan-pandangan di atas menunjukkan, bahwa di Barat
telah muncul kesadaran baru tentang pentingnya dimensi etika memasuki lapangan
bisnis.
B. DEFINISI ETIKA
Secara etimologi, Etika (ethics) yang berasal dari bahasa
Yunani ethikos mempunyai beragam arti : pertama, sebagai analisis konsep-konsep
terhadap apa yang harus, mesti, tugas, aturan-aturan moral, benar, salah,
wajib, tanggung jawab dan lain-lain. Kedua, aplikasi ke dalam watak moralitas
atau tindakan-tindakan moral. Ketiga, aktualisasi kehidupan yang baik secara
moral.
Menurut Ahmad Amin memberikan batasan bahwa etika atau
akhlak adalah ilmu yang menjelaskan arti yang baik dan buruk, menerangkan apa
yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan yang
harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk
melakukan apa yang harus diperbuat.
Menurut K. Bertens dalam buku Etika, merumuskan pengertian
etika kepada tiga pengertian juga; Pertama, etika digunakan dalam pengertian
nilai-niai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika dalam pengertian
kumpulan asas atau nilai-nilai moral atau kode etik. Ketiga, etika sebagai ilmu
tentang baik dan buruk.
C. DEFINISI BISNIS
Kata bisnis dalam Al-Qur’an biasanya yang digunakan
al-tijarah, al-bai’,tadayantum, dan isytara. Tetapi yang seringkali digunakan
yaitu al-tijarah dan dalam bahasa arab tijaraha, berawal dari kata dasar t-j-r,
tajara, tajran wa tijarata, yang bermakna berdagang atau berniaga. At-tijaratun
walmutjar yaitu perdagangan, perniagaan (menurut kamus al-munawwir).
Menurut ar-Raghib al-Asfahani dalam al-mufradat fi gharib
al-Qur’an , at-Tijarah bermakna pengelolaan harta benda untuk mencari
keuntungan.
Menurut Ibnu Farabi, yang dikutip ar-Raghib , fulanun
tajirun bi kadza, berarti seseorang yang mahir dan cakap yang mengetahui arah
dan tujuan yang diupayakan dalam usahanya.
Dalam penggunaannya kata tijarah pada ayat-ayat di atas
terdapat dua macam pemahaman. Pertama, dipahami dengan perdagangan yaitu pada
surat Al-Baqarah ; 282. Kedua, dipahami
dengan perniagaan dalam pengertian umum.
Dari penjelasan diatas, terlihat bahwa term bisnis dalam
Al-Qur’an dari tijarah pada hakikatnya tidak semata-mata bersifat material dan
hanya bertujuan mencari keuntungan material semata, tetapi bersifat material
sekaligus immaterial, bahkan lebih meliputi dan mengutamakan hal yang bersifat
immaterial dan kualitas.
Aktivitas bisnis tidak hanya dilakukan semata manusia tetapi
juga dilakukan antara manusia dengan Allah swt, bahwa bisnis harus dilakukan
dengan ketelitian dan kecermatan dalam proses administrasi dan
perjanjian-perjanjian dan bisnis tidak boleh dilakukan dengan cara penipuan,
dan kebohongan hanya demi memperoleh keuntungan.
Dalam hal ini, ada dua definisi tentang pengertian
perdagangan, dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu menurut mufassir dan
ilmu fikih:
1. Menurut
Mufassir, Bisnis adalah pengelolaan modal untuk mendapatkan keuntungan.
2. Menurut
Tinjauan Ahli Fikih, Bisnis adalah saling menukarkan harta dengan harta secara
suka sama suka, atau pemindahan hak milik dengan adanya penggantian.
3. Menurut cara
yang diperbolehkan penjelasan dari pengertian diatas :
a. Perdagangan
adalah suatu bagian muamalat yang berbentuk transaksi antara seorang dengan
orang lain.
b. Transaksi
perdagangan itu dilaksanakan dalam bentuk jual beli yang diwujudkan dalam
bentuk ijab dan qabul.
c. Perdagangan
yang dilaksanakan bertujuan atau dengan motif untuk mencari keuntungan.
D. DEFINISI ETIKA
BISNIS DALAM EKONOMI ISLAM
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan kalau etika
sebagai perangkat prinsip moral yang membedakan apa yang benar dari apa yang
salah, sedangkan bisnis adalah suatu serangkaian peristiwa yang melibatkan
pelaku bisnis, maka etika diperlukan dalam bisnis.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa, Etika bisnis adalah
norma-norma atau kaidah etik yang dianut oleh bisnis, baik sebagai institusi
atau organisasi, maupun dalam interaksi bisnisnya dengan “stakeholders”nya.
Etika bisnis merupakan etika terapan. Etika bisnis merupakan
aplikasi pemahaman kita tentang apa yang baik dan benar untuk beragam
institusi, teknologi, transaksi, aktivitas dan usaha yang kita sebut bisnis.
Pembahasan tentang etika bisnis harus dimulai dengan menyediakan kerangka
prinsip-prinsip dasar pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan istilah baik
dan benar, hanya dengan cara itu selanjutnya seseorang dapat membahas
implikasi-implikasi terhadap dunia bisnis. Etika dan Bisnis, mendeskripsikan
etika bisnis secara umum dan menjelaskan orientasi umum terhadap bisnis, dan
mendeskripsikan beberapa pendekatan khusus terhadap etika bisnis, yang secara
bersama-sama menyediakan dasar untuk menganalisis masalah-masalah etis dalam
bisnis.
Dengan demikian, bisnis dalam islam memposisikan pengertian
bisnis yang pada hakikatnya merupakan usaha manusia untuk mencari keridhaan
Allah swt. Bisnis tidak bertujuan jangka pendek, individual dan semata-mata
keuntungan yang berdasarkan kalkulasi matematika, tetapi bertujuan jangka
pendek sekaligus jangka panjang, yaitu tanggung jawab pribadi dan sosial
dihadap masyarakat, Negara dan Allah swt.
E. DASAR HUKUM
1. Al Baqarah :
282
Yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang
itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika
yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan
jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika
mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak
ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila
kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan.
jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu;dan Allah
Maha mengetahui segala sesuatu.
Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang piutang, atau
sewa menyewa dan sebagainya.
2. An Nisa' : 29
Yang artinya :Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah
kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain,
sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan
suatu kesatuan.
3. At Taubah : 24
Yang artinya:
Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara,
isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan
yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah
lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.
4. An Nur : 37
Yang artinya : laki-laki yang tidak dilalaikan oleh
perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari)
mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu
hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.
5. As Shaff : 10
Yang artinya : Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu
aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang
pedih?.
PEMBAHASAN MASALAH
A. TUJUAN UMUM
ETIKA BISNIS DALAM EKONOMI ISLAM
Dalam hal ini, etika bisnis islam adalah merupakan hal yang
penting dalam perjalanan sebuah aktivitas bisnis profesional. Sebagaimana
diungkapkan oleh Dr. Syahata, bahwa etika bisnis Islam mempunyai fungsi substansial
yang membekali para pelaku bisnis, beberapa hal sebagai berikut :
1. Membangun kode
etik islami yang mengatur, mengembangkan dan menancapkan metode berbisnis dalam
kerangka ajaran agama. Kode etik ini juga menjadi simbol arahan agar melindungi
pelaku bisnis dari resiko.
2. Kode ini dapat
menjadi dasar hukum dalam menetapkan tanggungjawab para pelaku bisnis, terutama
bagi diri mereka sendiri, antara komunitas bisnis, masyarakat, dan diatas
segalanya adalah tanggungjawab di hadapan Allah SWT.
3. Kode etik ini
dipersepsi sebagai dokumen hukum yang dapat menyelesaikan persoalan yang
muncul, daripada harus diserahkan kepada pihak peradilan.
4. Kode etik
dapat memberi kontribusi dalam penyelesaian banyak persoalan yang terjadi
antara sesama pelaku bisnis dan masyarakat tempat mereka bekerja.
5. Sebuah hal
yang dapat membangun persaudaraan (ukhuwah) dan kerja sama antara mereka semua.
B. PANDUAN
RASULULLAH DALAM ETIKA BISNIS
Rasululah SAW sangat banyak memberikan petunjuk mengenai
etika bisnis, di antaranya ialah:
1. Bahwa
prinsip esensial dalam bisnis adalah kejujuran. Dalam doktrin Islam, kejujuran
merupakan syarat paling mendasar dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat
intens menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis. Dalam hal ini, beliau
bersabda:“Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang mempunyai
aib, kecuali ia menjelaskan aibnya” (H.R. Al-Quzwani). “Siapa yang menipu kami,
maka dia bukan kelompok kami” (H.R. Muslim). Rasulullah sendiri selalu bersikap
jujur dalam berbisnis. Beliau melarang para pedagang meletakkan barang busuk di
sebelah bawah dan barang baru di bagian atas.
2. Kesadaran
tentang signifikansi sosial kegiatan bisnis. Pelaku bisnis menurut Islam, tidak
hanya sekedar mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang
diajarkan Bapak ekonomi kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi kepada
sikap ta’awun (menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis.
Tegasnya, berbisnis, bukan mencari untung material semata, tetapi didasari
kesadaran memberi kemudahan bagi orang lain dengan menjual barang.
3. Tidak
melakukan sumpah palsu. Nabi Muhammad saw sangat intens melarang para pelaku
bisnis melakukan sumpah palsu dalam melakukan transaksi bisnis Dalam sebuah
hadis riwayat Bukhari, Nabi bersabda, “Dengan melakukan sumpah palsu,
barang-barang memang terjual, tetapi hasilnya tidak berkah”. Dalam hadis
riwayat Abu Zar, Rasulullah saw mengancam dengan azab yang pedih bagi orang
yang bersumpah palsu dalam bisnis, dan Allah tidak akan memperdulikannya nanti
di hari kiamat (H.R. Muslim). Praktek sumpah palsu dalam kegiatan bisnis saat
ini sering dilakukan, karena dapat meyakinkan pembeli, dan pada gilirannya meningkatkan
daya beli atau pemasaran. Namun, harus disadari, bahwa meskipun keuntungan yang
diperoleh berlimpah, tetapi hasilnya tidak berkah.
4. Ramah-tamah.
Seorang pelaku bisnis, harus bersikap ramah dalam melakukan bisnis. Nabi
Muhammad Saw mengatakan, “Allah
merahmati seseorang yang ramah dan toleranÂ
dalam berbisnis” (H.R. Bukhari dan Tarmizi).
5. Tidak boleh
berpura-pura menawar dengan harga tinggi, agar orang lain tertarik membeli
dengan harga tersebut. Sabda Nabi Muhammad, “Janganlah kalian melakukan bisnis
najsya (seorang pembeli tertentu, berkolusi dengan penjual untuk menaikkan
harga, bukan dengan niat untuk membeli, tetapi agar menarik orang lain untuk
membeli).
6. Tidak boleh
menjelekkan bisnis orang lain, agar orang membeli kepadanya. Nabi Muhammad Saw
bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian menjual dengan maksud untuk
menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain” (H.R. Muttafaq ‘alaih).
7. Tidak
melakukan ihtikar. Ihtikar ialah (menumpuk dan menyimpan barang dalam masa
tertentu, dengan tujuan agar harganya suatu saat menjadi naik dan keuntungan
besar pun diperoleh). Rasulullah melarang keras perilaku bisnis semacam itu.
8. Takaran,
ukuran dan timbangan yang benar. Dalam perdagangan, timbangan yang benar dan
tepat harus benar-benar diutamakan. Firman Allah: Celakalah bagi orang yang
curang, yaitu orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta
dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka
mengurangi” ( QS. 83: 112).
9. Bisnis tidak
boleh menggangu kegiatan ibadah kepada Allah. Firman Allah, “Orang yang tidak
dilalaikan oleh bisnis lantaran mengingat Allah, dan dari mendirikan shalat dan
membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang hari itu, hati dan
penglihatan menjadi goncang”.
10. Membayar upah
sebelum kering keringat karyawan. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Berikanlah upah
kepada karyawan, sebelum kering keringatnya”. Hadist ini mengindikasikan bahwa
pembayaran upah tidak boleh ditunda-tunda. Pembayaran upah harus sesuai dengan
kerja yang dilakukan.
11. Tidak monopoli.
Salah satu keburukan sistem ekonomi kapitalis ialah melegitimasi monopoli dan
oligopoli. Contoh yang sederhana adalah eksploitasi (penguasaan) individu
tertentu atas hak milik sosial, seperti air, udara dan tanah dan kandungan
isinya seperti barang tambang dan mineral. Individu tersebut mengeruk
keuntungan secara pribadi, tanpa memberi kesempatan kepada orang lain. Ini
dilarang dalam Islam.
12. Tidak boleh
melakukan bisnis dalam kondisi eksisnya bahaya (mudharat) yang dapat merugikan
dan merusak kehidupan individu dan sosial. Misalnya, larangan melakukan bisnis
senjata di saat terjadi chaos (kekacauan) politik. Tidak boleh menjual barang
halal, seperti anggur kepada produsen minuman keras, karena ia diduga keras,
mengolahnya menjadi miras. Semua bentuk bisnis tersebut dilarang Islam karena
dapat merusak esensi hubungan sosial yang justru harus dijaga dan diperhatikan
secara cermat.
13. Komoditi bisnis
yang dijual adalah barang yang suci dan halal, bukan barang yang haram, seperti
babi, anjing, minuman keras, ekstasi, dsb. Nabi Muhammad Saw bersabda,
“Sesungguhnya Allah mengharamkan bisnis miras, bangkai, babi dan
“patung-patung” (H.R. Jabir).
14. Bisnis
dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. Firman Allah, “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil,
kecuali dengan jalan bisnis yang berlaku dengan suka-sama suka di antara kamu”
(QS. 4: 29).
15. Segera melunasi
kredit yang menjadi kewajibannya. Rasulullah memuji seorang muslim yang
memiliki perhatian serius dalam pelunasan hutangnya. Sabda Nabi Saw,
“Sebaik-baik kamu, adalah orang yang paling segera membayar hutangnya” (H.R.
Hakim).
16. Memberi
tenggang waktu apabila pengutang (kreditor) belum mampu membayar. Sabda Nabi
Saw, “Barang siapa yang menangguhkan orang yang kesulitan membayar hutang atau
membebaskannya, Allah akan memberinya naungan di bawah naunganNya pada hari
yang tak ada naungan kecuali naungan-Nya” (H.R. Muslim).
17. Bahwa bisnis
yang dilaksanakan bersih dari unsur riba. Firman Allah, “Hai orang-orang yang
beriman, tinggalkanlah sisa-sisa riba jika kamu beriman (QS. al-Baqarah:: 278)
Pelaku dan pemakan riba dinilai Allah sebagai orang yang kesetanan(QS. 2: 275).
Oleh karena itu Allah dan Rasulnya mengumumkan perang terhadap riba.
C. TEORI DAN
SISTEMATIKA ETIKA BISNIS
Sistem etika Islam secara umum memiliki perbedaan mendasar
dibanding sistem etika barat. Pemaparan pemikiran yang melahirkan sistem etika
di Barat cenderung memperlihatkan perjalanan yang dinamis dengan cirinya
yang berubah-ubah dan bersifat sementara
sesuai dinamika peradaban yang dominan.
Lahirnya pemikiran etika biasanya didasarkan pada pengalaman
dan nilai-nilai yang diyakini para pencetusnya. Pengaruh ajaran agama kepada
model etika di Barat justru menciptakan ekstremitas baru dimana cenderung
merenggut manusia dan keterlibatan duniawi dibandingkan sudut lain yang sangat
mengemukakan rasionalisme dan keduniawian.
Sedangkan dalam Islam mengajarkan kesatuan hubungan antar
manusia dengan Penciptanya. Kehidupan totalitas duniawi dan ukhrawi dengan
berdasarkan sumber utama yang jelas yaitu Al-Qur'an dan Hadis.
1. Etika Dalam
Perspektif Barat
Dalam sistem etika Barat ini, ada tiga teori etika yang akan
dibahas, antara lain :
a. Teleologi
Teori yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart
Mill ini mendasarkan pada dua konsep yakni : Pertama, konsepUtility (manfaat) yang kemudian disebut
Utilitarianisme. artinya, pengambilan keputusan etika yang ada pada konsep ini
dengan menggunakan pertimbangan manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai
hasil akhirnya. Dengan kata lain, sesuatu yang dinilai benar adalah sesuatu
yang memaksimalisasi apa yang baik atau meminimalisir apa yang berbahaya bagi
banyak pihak. Maka, sesuatu itu dinilai sebagai perbuatan etis ketika sesuatu
itu semakin bermanfaat bagi banyak orang.
Dan kedua, teori Keadilan Distribusi (Distribitive Justice)
atau keadilan yang berdasarkan pada konsep Fairness. Inti dari teori ini adalah
perbuatan itu dinilai etis apabila menjunjung keadilan distribusi barang dan
jasa berdasarkan pada konsep Fairness. Yakni konsep yang memiliki nilai dasar
keadilan.
Dalam hal ini, suatu perbuatan sangat beretika apabila
berakibat pada pemerataan atau kesamaan kesejahteraan dan beban, sehingga
konsep ini berfokus pada metode distribusinya. Distribusi sesuai bagiannya,
kebutuhannya, usahanya, sumbangan sosialnya dan sesuai jasanya, dengan ukuran
hasil yang dapat meningkatkan kerjasama antar anggota masyarakat.
b. Deontologi
Teori yang dikembangkan oleh Immanuel Kant ini mengatakan
bahwa keputusan moral harus berdasarkan aturan-aturan dan prinsip-prinsip
universal, bukan "hasil" atau "konsekuensi" seperti yang
ada dalam teori teleologi. Perbuatan baik bukan karena hasilnya tapi mengikuti
suatu prinsip yang baik berdasarkan kemauan yang baik.
Dalam teori ini terdapat dua konsep, yaitu : Pertama, Teori
Keutamaan (Virtue Ethics). Dasar dari teori ini bukanlah aturan atau prinsip
yang secara universal benar atau diterima, akan tetapi apa yang paling baik
bagi manusia untuk hidup. Dasar dari teori ini adalah tidak menyoroti perbuatan
manusia saja, akan tetapi seluruh manusia sebagai pelaku moral. Memandang sikap
dan akhlak seseorang yang adil, jujur, mura hati, dsb sebagai keseluruhan.
Kedua, Hukum Abadi (Eternal Law), dasar dari teori ini
adalah bahwa perbuatan etis harus didasarkan pada ajaran kitab suci dan alam.
c. Hybrid
Dalam teori ini terdapat lima teori, meliputi :
• Personal
Libertarianism
Dikembangkan oleh Robert Nozick, dimana perbuatan etikal
diukur bukan dengan keadilan distribusi kekayaan, namun dengan keadilan atau
kesamaan kesempatan bagi semua terhadap pilihan-pilihan yang ada (diketahui)
untuk kemakmuran mereka. Teori ini percaya bahwa moralitas akan tumbuh subur
dari maksimalisasi kebebasan individu.
• Ethical
Egoism
Dalam teori ini, memaksimalisasi kepentingan individu
dilakukan sesuai dengan keinginan individu yang bersangkutan. Kepentingan ini
bukan harus berupa barang atau kekayaan, bisa juga berupa ketenaran, keluarga
bahagia, pekerjaan yang baik, atau apapun yang dianggap penting oleh pengambil
keputusan.
•
Existentialism
Tokoh yang mengembangkan teori ini adalah Jean-Paul Sartre.
Menurutnya, standar perilaku tidak dapat dirasionalisasikan. Tidak ada
perbuatan yang benar-benar salah ataua benar-benar benar atau sebaliknya.
Setiap orang dapat memilih prinsip etika yang disukai karena manusia adalah apa
yang ia inginkan dirinya menjadi.
• Relativism
Teori ini berpendapat bahwa etika itu bersifat relatif,
jawaban dari etika itu tergantung dari situasinya. Dasar pemikiran teori ini
adalah bahwa tidak ada kriteria universal untuk menentukan perbuatan etis.
Setiap individu mempunyai kriteria sendiri-sendiri dan berbeda setiap budaya
dan negara.
• Teori Hak
(right)
Nilai dasar yang dianut dalam teori in adalah kebebasan.
Perbuatan etis harus didasarkan pada hak individu terhadap kebebasan memilih.
Setiap individu memiliki hak moral yang tidak dapat ditawar.
2. Etika dalam
Perpektif Islam
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang dinamis sebagai
bagian dari peradaban. Dalam hal ini, etika dengan agama berkaitan erat dengan
manusia, tentang upaya pengaturan kehidupan dan perilakunya. Jika barat
meletakkan "Akal" sebagai dasar kebenarannya. Maka, Islam meletakkan
"Al-Qur'an" sebagai dasar kebenaran.
Berbagai teori etika Barat dapat dilihat dari sudut pandang
Islam, sebagai berikut :
a. Teleologi
Utilitarian dalam Islam adalah hak individu dan kelompok adalah penting dan
tanggungjawab adalah hak perseorangan.
b. Distributive
Justice dalam Islam adalah Islam mengajarkan keadilan. Hak orang miskin berada
pada harta orang kaya. Islam mengakui kerja dan perbedaan kepemilikan kekayaan.
c. Deontologi
dalam Islam adalah Niat baik tidak dapat mengubah yang haram menjadi halal.
Walaupun tujuan, niat dan asilnya baik, akan tetapi apabila caranya tidak baik,
maka tetap tidak baik.
d. Eternal Law
dalam Islam adalah Allah mewajibkan manusia untuk mempelajari dan membaca wahyu
dan ciptaanNya. Keduanya harus dilakukan dengan seimbang, Islam mewajibkan
manusia aktif dalam kegiatan duniawi yang berupa muamalah sebagai proses
penyucian diri.
e. Relativisme
dalam Islam adalah perbuatan manusia dan nilainya harus sesuai dengan tuntunan
Al-Qur'an dan Hadis. Prinsip konsultasi dengan pihak lain sangat ditekankan
dalam Islam dan tidak ada tempat bagi egoisme dalam Islam.
f. Teori Hak
dalam Islam adalah menganjurkan kebebasan memilih sesuai kepercayaannya dan
menganjurkan keseimbangan. Kebebasan tanpa tanggungjawab tidak dapat diterima.
Dan tanggungjawab kepada Allah adalah hak individu.
D. KETENTUAN UMUM
ETIKA BISNIS DALAM EKONOMI ISLAM
1. Kesatuan
(Tauhid/Unity)
Dalam hal ini adalah kesatuan sebagaimana terefleksikan
dalam konsep tauhid yang memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan muslim
baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial menjadi keseluruhan yang homogen,
serta mementingkan konsep konsistensi dan keteraturan yang menyeluruh.
Dari konsep ini maka islam menawarkan keterpaduan agama,
ekonomi, dan sosial demi membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini pula maka
etika dan bisnis menjadi terpadu, vertikal maupun horisontal, membentuk suatu
persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam.
2. Keseimbangan
(Equilibrium/Adil)
Islam sangat mengajurkan untuk berbuat adil dalam berbisnis,
dan melarang berbuat curang atau berlaku dzalim. Rasulullah diutus Allah untuk
membangun keadilan. Kecelakaan besar bagi orang yang berbuat curang, yaitu
orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain meminta untuk
dipenuhi, sementara kalau menakar atau menimbang untuk orang selalu dikurangi.
Kecurangan dalam berbisnis pertanda kehancuran bisnis
tersebut, karena kunci keberhasilan bisnis adalah kepercayaan. Al-Qur’an
memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menimbang dan mengukur dengan cara
yang benar dan jangan sampai melakukan kecurangan dalam bentuk pengurangan
takaran dan timbangan.
واوفوا
الكيل اذا كلتم وزنوا
بالقسطاس المستقيم ذالك خير وأحسن
تأويلا
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan
timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya”.(Q.S. al-Isra’: 35).
Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam
mengharuskan untuk berbuat adil,tak terkecuali pada pihak yang tidak disukai.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Maidah : 8 yang artinya :
“Hai orang-orang beriman,hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah SWT,menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-sekali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil.Berlaku adillah karena adil lebih dekat dengan takwa”.
3. Kehendak Bebas
(Free Will)
Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis
islam, tetapi kebebasan itu tidak merugikan kepentingan kolektif. Kepentingan
individu dibuka lebar. Tidak adanya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong
manusia untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala potensi yang
dimilikinya.
Kecenderungan manusia untuk terus menerus memenuhi kebutuhan
pribadinya yang tak terbatas dikendalikan dengan adanya kewajiban setiap
individu terhadap masyarakatnya melalui zakat, infak dan sedekah.
4. Tanggungjawab
(Responsibility)
Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil
dilakukan oleh manusia karena tidak menuntut adanya pertanggungjawaban dan
akuntabilitas. untuk memenuhi tuntunan keadilan dan kesatuan, manusia perlu
mempertaggungjawabkan tindakanya secara logis prinsip ini berhubungan erat
dengan kehendak bebas. Ia menetapkan batasan mengenai apa yang bebas dilakukan
oleh manusia dengan bertanggungjawab atas semua yang dilakukannya.
5. Kebenaran:
kebajikan dan kejujuran
Kebenaran dalam konteks ini selain mengandung makna
kebenaran lawan dari kesalahan, mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan
kejujuran. Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudkan sebagia niat, sikap dan
perilaku benar yang meliputi proses akad (transaksi) proses mencari atau
memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam proses upaya meraih atau
menetapkan keuntungan.
Dengan prinsip kebenaran ini maka etika bisnis Islam sangat
menjaga dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu
pihak yang melakukan transaksi, kerjasama atau perjanjian dalam bisnis.
E. TINGKATAN
APLIKASI ETIKA BISNIS DALAM EKONOMI ISLAM
Adapun penerapan etika bisnis dapat dilakukan pada tiga
tingkatan, yaitu; individual, organisasi, dan sistem. Pertama, pada tingkat
individual, etika bisnis mempengaruhi
pengambilan keputusan seseorang atas tanggungjawab pribadinya dan
kesadaran sendiri, baik sebagai penguasa maupun manajer. Kedua, pada tingkat
organisasi, seseorang sudah terikat kepada kebijakan perusahaan dan persepsi perusahaan tentang tanggungjawab
sosialnya. Ketiga, pada tingkat sistem, seseorang menjalankan kewajiban atau
tindakan berdasarkan sistem etika tertentu.
Realitasnya, para pelaku bisnis sering tidak mengindahkan
etika. Nilai moral yang selaras dengan etika bisnis, misalnya toleransi,
kesetiaan, kepercayaan, persamaan, emosi atau religiusitas hanya dipegang oleh
pelaku bisnis yang kurang berhasil dalam berbisnis. Sementara para pelaku
bisnis yang sukses memegang prinsip-prinsip bisnis yang tidak bermoral,
misalnya maksimalisasi laba, agresivitas, individualitas, semangat persaingan,
dan manajemen konflik.
Kesimpulan
Etika bisnis islam adalah merupakan hal yang penting dalam
perjalanan sebuah aktivitas bisnis profesional. Sebagaimana diungkapkan oleh
Dr. Syahata, bahwa etika bisnis Islam mempunyai fungsi substansial yang
membekali para pelaku bisnis.
Prinsip ekonomi, menurut para pebisnis dan para konglomerat
adalah untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa menggunakan etika
bisnis yang ada.
Panduan Rasulullah dalam etika bisnis yang perlu
diperhatikan dalam berbisnis :
1. Prinsip
essensial dalam bisnis adalah kejujuran
2. Kesadaran
tentang signifikansi sosial kegiatan bisnis
3. Tidak
melakukan sumpah palsu
4. Ramah tamah
5. Tidak boleh
berpura-pura menawar dengan harga tinggi, agar orang lain tertarik membeli
dengan harga tersebut.
Islam menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial demi
membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini pula maka etika dan bisnis menjadi
terpadu, vertikal maupun horisontal, membentuk suatu persamaan yang sangat
penting dalam sistem Islam.
Realitasnya, para pelaku bisnis sering tidak mengindahkan
etika. Para pelaku bisnis yang sukses memegang prinsip-prinsip bisnis yang
tidak bermoral, misalnya maksimalisasi laba, agresivitas, individualitas,
semangat persaingan, dan manajemen konflik.
Sumber : http://serbamakalah.blogspot.com/2013/05/etika-bisnis-dalam-ekonomi-islam_2527.html